Tuesday, September 6, 2011

Artikel Realitas Sosial Mudik Lebaran

REALITAS SOSIAL MUDIK LEBARAN

KLIPING








Disusun Oleh :
  • Ahmad Safril Annur     (02)



X1
DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SMA NEGERI 1 JENGGAWAH
2011/2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga kami bisa manyelesaikan tugas yang diberikan guru mata pelajaran Sosiologi di SMA Negeri 1 Jenggawah.
Menyadari akan keterbatasan disiplin ilmu yang dimiliki kami, hingga dalam penulisan tugas ini mungkin masih banyak ditemukan kesalahan dan kelemahan, oleh sebab itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun.Tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dorongan dan pengertian serta saran dari berbagai pihak, penulisan karya ilmiah ini tidak mungkin dapat terwujud.

Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

  • Drs. Moh Rodja'i M, Mpd selaku Kepala SMA Negeri 1 Jenggawah.
  • Drs. H. Ahmad Mubasyir selaku Guru Sosiologi.
  • Drs. Giman Irawanto, selaku Wali Kelas X1.
  • Kedua orang tua kami yang senantiasa memberikan do'a dan restunya selama ini.
  • Seluruh teman-teman yang telah memberikan informasi dalam penyusunan tugas ini.
  • Serta seluruh pihak yang telah memberikan informasi dalam penyusunan tugas ini.






Jember,06 September 2011



Penulis




MUDIK
Mudik


Mudik adalah kegiatan perantau/ pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang Lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua. Tradisi mudik hanya ada di Indonesia.
Posted on 16 October, 2007 by wismabahasa


Sebuah gejala unik terjadi setiap tahunnya di Indonesia, yang mana secara budaya sangat sakral untuk umat Muslim sehingga tak satupun orang muslim mau melewatkannya. Setelah berpuasa selama sebulan di bulan Ramadhan (Hijriyah), ada hadiah besar untuk setiap orang Muslim. Lebaran atau Idul Fitri adalah hadiah yang besar dan suci, hari di mana semua orang Muslim saling memaafkan kesalahan-kesalahan satu dengan yang lainnya.


Salah satu bentuk untuk merayakan Lebaran adalah pulang kampung atau lebih dikenal dengan mudik. Agar dapat berkumpul lagi dengan orang tua dan keluarga, jutaan orang mudik dari kota, di mana mereka bekerja atau tinggal, seperti Jakarta menuju ke tanah kelahirannya, yaitu desa. Mereka rela antri berjam-jam untuk mendapatkan tiket bus atau kereta, atau bahkan menyewa mobil. Berdesak-desakkan di dalam angkutan umum, berpanas-panasan di atas sepeda motor dan macet berjam-jam di jalanan merupakan kejadian yang selalu terjadi di setiap Lebaran. Bagi mereka, kerepotan, penderitaan dan kesulitan yang dihadapi selama dalam perjalanan pulang kampung tidak dianggap ada setelah mereka bertemu dengan anggota keluarganya. Dalam kenyataannya, perjalanan panjang selama mudik sering menjadi cerita yang menarik untuk diceritakan kepada keluarga.


Pemidik (migrants) yang berasal dari desa yang sama biasanya melakukan mudik bersama-sama. Perusahaan di mana mereka bekerja menyediakan bis atau mobil sewaan untuk tenaga kerjanya sehingga mereka dapat pulang dengan lebih nyaman dan merasakan semangat kebersamaan. Seminggu atau bahkan sebulan sebelum Lebaran, mobil sewaan, tiket bis, dan kereta api sudah dipesan semua. Setiap orang pergi ke tempat tujuannya masing-masing.


Mudik tidak hanya untuk orang Muslim saja tetapi sudah menjadi tradisi tahunan yang tidak dapat dipisahkan dengan komunitas masyarakat Indonesia. Banyak orang yang bekerja dan tinggal di kota besar mudik karena pada Lebaran mereka mendapat liburan yang panjang. Biasanya, mereka akan mengunjungi dan mendoakan leluhurnya yang sudah meninggal di makam. Mudik juga bisa menjadi semacam terapi yang menguatkan hubungan kekeluargaan. Dalam aspek spiritual, mudik akan membangkitkan kesegaran dan tenaga baru bila mereka kembali bekerja di kota.


Orang-orang yang bekerja jauh dengan keluarganya di kota besar sering merasa ada yang kurang dalam hidupnya dan 'kekurangan sesuatu' ini dapat ditemukan kembali pada waktu mereka pulang kampung. Oleh karena itu mudik Lebaran, selain menjadi tradisi tahunan, juga memiliki efek perbaikan hidup atau terapi untuk rasa kehilangan bagi mereka yang hidup jauh dari orang tua dan keluarga.


Mudik juga berfungsi sebagai jaringan informasi tentang lowongan atau kesempatan kerja di kota besar meskipun hal ini menyebabkan masalah. Penduduk di kota besar bertambah setiap tahunnya ketika para pemudik kembali ke kota dengan membawa saudara atau kerabatnya ke kota. Cerita tentang kesuksesan hidup di kota membuat saudara, anggota keluarga, dan bahkan teman terpengaruh untuk meninggalkan keluarga dan desanya dan mengadu nasib di kota besar, dengan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.


Lebaran
Lebaran adalah nama lain dari Hari Raya umat Islam, baik hari raya Idul Fitri maupun hari Raya Idul Adha yang dirayakan setiap tahun atau setiap bulan Syawal setelah sebulan umat Muslim melaksanakan puasa di bulan Ramadan.
Lebaran Idul Fitri
Lebaran Idul Fitri atau biasa disebut "Lebaran" saja dilaksanakan ketika hari raya Idul Fitri tiba, orang-orang Islam umumnya saling bersalam-salaman dan bermaaf-maafan dengan tetangganya, juga familinya setelah menunaikan Salat Ied.
Lebaran Idul Adha
Lebaran Idul Adha biasa disebut "Lebaran Haji", karena memang pada saat-saat itu orang-orang Islam umumnya menunaikan ibadah Haji. Seusai Salat Ied, biasanya diadakan pemotongan hewan Qurban, dan daging hasil sembelih itu kemudian dibagikan kepada warga di daerah yang bersangkutan atau kepada warga yang kurang mampu. Di lebaran Idul Adha masyarakat Muslim juga menunaikan ibadah Salat Ied.
Memaknai Mudik Dalam Tinjauan Sosio-Kultural

Tak terasa hampir sebulan penuh kita menjalankan ibadah puasa ramadhan sebagai bentuk ibadah individual yang kita lakukan kepada Allah SWT. Selain itu ibadah sosialpun tak terlupakan untuk diaktualisasikan untuk menjaga tali persaudaraan dan menunjukkan rasa empati diri terhadap sesama manusia (hablum minannas) atau dalam pandangan amien rais di sebut sebagai 'tauhid sosial'. Tauhid sosial atau kesalehan sosial tersebut termanifestasikan sebagai bentuk ibadah af'aliyah dalam kehidupan sekitar.

Selama sebulan penuh menjalankan ibadah puasa ramadhan, tentunya menjadi momentum introspeksi diri, penyucian hati (tazkiyah an-nafs), menahahan segala sifat hawa nafsu yang di miliki oleh manusia dan sebagai akhir puncak nanti sebagai umat muslim yang ada di Indonesia maupun di negara lainnya akan merayakan hari kemenangan yakni merayakan hari Idul Fitri 1 Syawal 1432 H. Dengan itu kita berharap semoga kita kembali dalam keadaan yang fitri (suci) seperti yang Allah SWT yang janjikan.

Dalam tulisan yang kami buat ini tentunya sudah tak lazim dan familiar di telinga yakni istilah tradisi 'Mudik alias Pulang Kampung' yang merupakan agenda akhir tahunan pada setiap menjelang hari lebaran. Mudik sudah menjadi fenomena sosial dan merupakan bagian warisan sosio-kultural ketika pada saat menjelang lebaran, hal tersebut bisa kita lihat di berbagai tempat antrian yang begitu padat di karenakan komposisi penduduk yang setiap tahunnya mengalami peningkatan.

Mereka senantiasa sangat antusias untuk melakukan mudik ke kampung halaman masing-masing. tak peduli harus membayar mahal tiket mudik akibat kenaikan ongkos menjelang lebaran, harus antri tiket jauh-jauh hari sebelum lebaran, tak jarang banyak yang tak kebagian tiket sehingga harus harus rela berdiri dan berdesak-desakkan dan sampai ironisnya ada yang menelan korban dengan fenomena seperti ini. Hal itu bisa dilihat (potret) melalui media massa elektronik TV, antrian begitu padat yang ada di terminal, stasiun, pelabuhan, maupun yang ada di bandara.

Secara terminus dan berbagai sumber yang ada bahwa istilah mudik berasal dari kata "udik "yang berarti kampung atau desa. Jika diartikan secara umum bahwa mudik berarti balik atau pulang ke daerah asal. Sedangkan mudik menurut Kamus Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta (1976) adalah pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari lebaran. Mudik menjadi euforia tersendiri bagi sebagian besar orang, karena hanya di rayakan setiap tahun sekali khusunya yang ada di kota besar metropolitan.

Faktor Pendorong

Tak di pungkiri bahwa era sekarang di sebut sebagai era IPTEK (Informasi Teknologi dan Komunikasi) dengan menghasilkan berbagai produk seperti handphone, BBM (blackberry), internet melalui jejaring sosial (facebook, twitter, dll). Dengan produk yang di hasilkan tersebut memberikan kemudahan tersendiri ketika melakukan komunikasi secara audio visual dan juga yang tak memungkinkan untuk di jangkau oleh seseorang. Tetapi masyarakat merasa bahwa komunikasi audio visual tersebut hanya bersifat teknologis instrumental (alat) yang di sebut dalam pandangan Jurgen Habermas. Bagi mereka, tradisi mudik tidak bisa tergantikan karena mempunyai suatu makna tersendiri yakni makna yang bersifat sosio-kultural.

Menurut Sosiolog UGM Arie Sudjito, ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama yang ada pada masyarakat pedesaan. Setidaknya ada empat hal yang menjadi tujuan orang untuk melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi :1. Mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga.2. Terapi psikologis 3. lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari 3. Mengingat asal usul 4. Unjuk diri, bahwa mereka telah berhasil mengadu nasib di kota besar.

Makna Sosio-Kultural

Dalam hubungan kekerabatan dalam rumah tangga kita mengenal dengan istilah keluarga inti (extented family) dan keluarga besar (nuclear family). Keluarga inti (extended family) adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum dewasa atau belum kawin, sedangkan keluarga besar (nuclear family) adalah keluarga yang terdiri lebih dari satu generasi.

Untuk itu, yang termasuk di dalam golongan keluarga yang bercirikan sebagai nuclear family (keluarga besar) tak lengkap rasanya ketika tidak merayakan yang namanya tradisi mudik lebaran untuk berkumpul di kampung halaman, bercengkrama, mengingat romantisme masa lalu yang pernah di jalani. Di samping itu ketika keinginan tersebut untuk melakukan mudik tidak tercapai, bisa saja mereka mengidap efek psikologis yang sangat amat mendalam karena mereka tidak bisa berkumpul dengan orang tua tercinta maupun sanak keluarga yang ada.

Dengan mudik orang yang bercirikan tipe keluarga besar (nuclear family) mereka jauh kepada sanak keluarga yang ada di kampung halaman. Tipe yang bercirikan seperti ini adalah merekalah yang hidup mandiri khususnya yang ada di masyarakat perkotaan. Mereka sangat merasakan yang namanya pahit manisnya ketika hidup di masyarakat perkotaan. Mereka bercampur-baur melakukan proses akulturasi dengan masyarakat lain, bahkan tak jarangpun mereka yang tercerabut dari sisi kemanusiaan yang di miliki di karenakan lingkungan kerja dan mereka yang teralienasi dengan lingkungan sosial.

Tentunya, hal tersebut terjadi karena rutinitas mereka yang telah menyita telah menjadikan manusia, seperti apa yang disebut oleh Lewis Yablonsky sebagai "robopaths". Robopaths telah kehilangan kreatifitas dan inovatif. Bagi penulis, tanpa maksud untuk menggeneralisir bahwa hidupnya yang seperti ini mereka yang ada dan terkooptasi di dalam lembaga institusional yang bersifat struktural.

Untuk itu dalam kesempatan tertentu seperti dengan adanya tradisi mudik lebaran, orang-orang yang kemudian pernah mengalami suatu masalah ketika berada di lingkungan kerja dan merasa sifat kemanusiaanya telah tercerabut akan sedikit meminimalisir suatu keadaan atau masalah yang telah di hadapi dan ketika melakukan tradisi mudik lebaran mereka akan merasakan masa lalunya ketika berada di kampung halaman.

Peristiwa dalam pandangan seperti ini secara sosiologis menurut Pierre Bouerdieu, akan membawa kita ke dalam refleksi kedirian, pengetahuan, selera, dan makna yang bersifat sosial dan memiliki hubungan antara kelas lain (Scott Lash, Sosiologi Posmodern; 2004).

Selain itu, Kebutuhan semacam ini menurut Abraham Maslow merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi manusia. Menurut Maslow kebutuhan yang mendasar atau tidak, tidaklah menjadi suatu masalah yang penting tetapi bagamaimana mereka meninggalkan sementara segala kepenatan yang ada di kehidupan masyarakat perkotaan.

Dengan mudik, menurut sosiolog Emile Durkheim (1859-1917) disebut dengan solidaritas organik. Mudik bisa menjadi salah satu jalan melanggengkan solidaritas organik itu ketika masyarakat sebelum dan sesudah hari raya kadang sibuk dengan urusan masing-masing yang bisa saling melupakan silaturahmi antar sesama.

Dengan mudik akan terjalin proses interaksi sosial (social contact), dengan itu kita bisa meluangkan perasasaan-perasaan yang ingin di sampaikan kepada orang lain, baik itu kepada kedua orang tua tercinta dengan mengucapkan maaf lahir batin atas kesalahan yang pernah di lakukan, mereka berbagi kepada tetangga, keluarga, maupun para sahabat ketika pada saat waktu kecil berada di kampung halaman. Dengan itu ketika proses komunikasi terjalin akan memberikan sebuah reaksi terhadap perasaan yang ingin di sampaikan, hal senada di katakan Maryati dan Suryawati (2003).

Momen seperti ini jarang kemudian terjalin di tengah kesibukan dan aktivitas diri masing-masing apalagi yang hidup di masyarakat perkotaan. Selain itu dengan melakukan mudik dalam tinjauan sosiologis, ada sebuah ciri nilai sosial yang kemudian kembali terjalin terhadap sesama keluarga, tetangga, maupun sahabat. Ciri nilai sosial tersebut kemudian di representasikan sebagai saling memotivasi diri, saling memberikan sugesti, di jadikan sebagai ajang sharing baik permasalahan yang bersifat pribadi maupun yang bersifat sosial kemasyarakatan. (IRIB/Kompasiana)

Senin, 22 Agt 2011 07:09 WIB
Mudik Lebaran dan Kesiapan Layanan Transportasi
Oleh : Tahan Manullang, SH. Kesadaran tentang totalitas perbaikan layanan transportasi publik, selalu kencang mengemuka pada saat-saat menjelang mudik Lebaran dan arus balik ke Ibu Kota sesudah perayaan Idul Fitri. Persoalannya sangat klasik: kuantitas sekaligus kualitas. Kita sadar, jumlah pemudik makin bertambah dari tahun ke tahun, tetapi mutu pelayanan selalu belum menjangkau keterjaminan. Tiket kereta api, bus, dan pesawat terbang yang ludes jauh hari sebelum mudik menunjukkan perbandingan pelayanan yang belum berimbang. Moda transportasi andalan di Tanah Air sejauh ini masih bus dan kereta api.
Pada dua moda itu, mutu layanan harus terus dipacu untuk membangun pelayanan transportasi massal yang benar-benar bermartabat. Secara kualitatif, visi yang harus dikembangkan tentunya adalah ketercukupan sarana dan prasarana jalan, rel kereta api, serta kesiapan armadanya. Bagaimana mungkin setiap tahun bicara dan menjamin pemanusiawian pemudik dan pengguna jasa pada hari-hari reguler tanpa realisasi pemacuan aspek-aspek tersebut. Tidaklah berlebihan layanan transportasi publik terus didorong menjadi program prioritas pemerintah.

Tiap tahun kita punya hajat kolosal mudik sebagai tradisi sosial yang "jadwalnya" sudah pasti. Sementara itu, pemerintah dan stakeholders pariwisata juga tengah memacu peningkatan sektor ini di semua daerah. Tanpa ditunjang oleh insfrastruktur dan jaminan ketersediaan sarana transportasi yang memadai, sulitlah berharap terjadi percepatan kualitas pelayanan. Kita juga melihat hal ini sebagai cermin ukuran keberpihakan. Keberpihakan pemerintah kepada rakyat bisa dilihat dari sejauh mana menjadikan kenyamanan bertransportasi sebagai ukuran kesuksesan pelayanan.

Beberapa segi tercakup di sini, seperti kenyamanan bagi para pengguna jalan untuk mobilitas privat dan sosial, penopang utama pariwisata, akses ke kantung-kantung kegiatan perekonomian, dan sebagai syarat penting yang mempertinggi daya tarik berinvestasi. Maka jika kuantitasnya tidak memenuhi, dan kualitasnya juga bermasalah, keberpihakan itu bisa dipertanyakan. Kita melihat contoh masalah-masalah yang menyertai pembangunan jalan tol, misalnya bias hukum dalam ganti rugi, aspek penyimpangan dalam pelaksanaan proyek, atau pengerjaan yang tidak disiplin jadwal; semua itu menunjukkan banyak kepentingan yang membelit dalam penyelenggaraan penyediaan akses dan kenyamanan untuk rakyat.

Mutu Layanan Transportasi

Kultur demikian inilah yang harus diberantas, karena seharusnya kita sadar betapa keterjaminan mutu pelayanan transportasi itu sangat menentukan dan memengaruhi sektor-sektor yang lain. Persoalan antrean truk pengangkut di Pelabuhan Merak yang tahun ini makin menjadi-jadi, misalnya, hingga sekarang belum menemukan solusi yang efektif.  Ini kita lihat sebagai cermin. Sementara itu, setiap tahun kita selalu diingatkan dengan realitas penyelenggaraan transportasi mudik dan arus balik. Berbagai pelajaran itu sudah lebih dari cukup untuk mendorong percepatan peningkatan mutu layanan. Dua moda transportasi andalan, bus dan kereta api membutuhkan pemacuan mutu menuju kenyamanan rakyat penggunanya.

Kemudian, hal yang tidak kalah penting adalah mengingatkan kalangan birokrat agar meninggalkan kebiasaan buruk yang sering menggunakan fasilitas kantor atau dinas untuk kepentingan perayaan lebaran. Sebab kenyataannya selama ini, sepanjang tahun kendaraan-kendaraan dinas itu justru campur aduk penggunaannya. Untuk tugas-tugas kantor jelas menggunakan kendaraan dinas. Tapi senyatanya kendaraan dinas juga dipergunakan untuk kepentingan pribadi.

Kendaraan dinas juga yang digunakan untuk mengecek kebun dikampung halaman, untuk memenuhi undangan sedekah didaerah asal, dan seterusnya. Bahkan ada diantaranya yang menggunakan kendaraan dinas untuk ketempat-tempat hot. Walhasil jika dikalkulasi secara benar, jangan-jangan persentase penggunaan kendaraan dinas lebih tinggi untuk kepentingan pribadi ketimbang untuk kepentingan dinas.

Sebagaimana dikemukakan Amzulian Rifai bahwa hal-hal lain yang lebih prinsip untuk dilakukan atas nama penyelamatan aset negara. Ini penting, sehingga kendaraan dinas tidak berubah fungsi untuk kepentingan pribadi. Terkadang kita ini menerapkan kebijakan yang kurang efektif. Melarang penggunaan kendaraan dinas untuk aktivitas berlebaran yang hanya beberapa hari saja dalam setahun namun tidak mengawasi secara ketat penggunaan kendaraan dinas sepanjang tahun penggunaannya.

Cobalah kita jujur, apakah pemerintah mampu secara ketat mengawasi penggunaan kendaraan dinas dalam kesehariannya? Pastilah tidak jawabannya. Kendaraan dinas tetap banyak digunakan untuk kepentingan pribadi. Selain itu, sebaiknya bersikap realistis saja bahwa banyak diantara pegawai pemerintah yang karena jabatannya diberikan kendaraan dinas tidak memiliki kendaraan pribadi. Ada diantara mereka pertama kali berkendaraan roda empat sejak diamanatkan mobil berplat merah itu. Kendaraan dinas tersebut menjadi satu-satunya kendaraan dirumahnya.

Seandainya sang pemegang kendaraan dinas memiliki lima anak, tinggal jauh dari fasilitas kendaraan umum, yakinkah kita bahwa kendaraan dinas itu hanya semata-mata untuk kepentingan urusan dinas? Artinya, kelima anak plus istri/suaminya "diharamkan" menumpang kendaraan dinas tersebut? Semua anaknya harus berkendaraan lain keluar dari areal rumahnya untuk mencapai sekolah atau tujuan lain? Lebih gawat lagi jika pemegang kendaraan dinas adalah sang istri yang ternyata tidak bisa menyetir. Larangan penggunaan kendaraan dinas mudik lebaran agar tidak terjadi kerugian negara tentulah baik.

Namun menjadi kurang gregetnya apabila tidak melihat realita yang ada. Tanpa menimbang kenyataan yang ada, maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, mungkin sang pejabat akan membangkang larangan itu. Cuek saja. Kedua, melakukan hal-hal yang pada intinya tetap saja melawan keputusan tersebut. Tidak jarang diantara mereka memiliki juga plat nomor kendaraan hitam, disamping warna merah yang memang baku sifatnya. Bukankah tindakan ini malah melahirkan perbuatan illegal lainnya?

Memang ada kemungkinan ketiga, mematuhi larangan untuk tidak membawa kendaraan dinas mudik berlebaran. Namun pejabat semacam ini karena memiliki kendaraan alternatif. Sebaiknya pemerintah memiliki solusi yang lebih pasti dalam soal penggunaan mobil dinas ini dengan memperhatikan realita dan budaya yang ada dalam masyarakat. Semua itu dilakukan tanpa mengurangi makna mudik lebaran dan pemerintah perlu melakukan pembenahan dalam rangka memberikan layanan transportasi yang lebih berkualitas.***

Penulis adalah Direktur Alpiran Sumut



JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Sudirman Lambali mengungkapkan bahwa selama arus mudik Lebaran sejak (H-7) pada 23 Agustus 2011 hingga hari kedua Lebaran pada 31 Agustus 2011, jumlah kecelakaan sebanyak 2.998 peristiwa. Dari jumlah tersebut tercatat korban meninggal mencapai 490 orang, korban luka berat 811 orang, dan korban luka ringan sebesar 2.027 orang.

"Kecelakaan paling banyak terjadi pada kendaraan roda dua. Ya, memang banyak yang lebih senang memakai kendaraan roda dua dibandingkan angkutan umum. Akan tetapi, risikonya kan lebih besar. Itu baru data hingga H ke-2. Data sementara jumlah kecelakaan lalu lintas H+1 akan dilaporkan nanti. Data ini berasal dari Posko Korlantas Polri," ujar Sudirman di Gedung Kementerian Perhubungan, Jakarta, Jumat (2/9/2011).
Jumlah kecelakaan ini, menurut Sudirman, mengalami peningkatan dibanding jumlah kecelakaan saat mudik pada tahun 2010. Dari catatan posko tersebut pada tahun lalu, jumlah kecelakaan mencapai 2.246 peristiwa. Dari jumlah itu, korban yang meninggal dunia sebanyak 539 orang dan jumlah korban luka berat sebanyak 660 orang. Sementara itu, sebanyak 1.283 orang mengalami luka ringan dalam kecelakaan saat perjalanan mudik.
Oleh karena jumlah kecelakaan yang meningkat, Sudirman mengimbau kepada para pemudik yang menggunakan transportasi darat agar melewati jalur utama yang telah disediakan. Menurutnya, jalan pintas ataupun jalan perkampungan yang dipilih sebagai jalan alternatif pemudik justru lebih rawan kecelakaan.
"Para pemudik sebaiknya gunakan jalur-jalur utama yang sudah ditentukan. Dari pengalaman Lebaran tahun-tahun sebelumnya, justru di jalan-jalan perkampungan itu lebih banyak kecelakaan. Kalau jalan-jalan utama kan (pengaturan dan pemantauan) sudah diperketat dengan posko-posko dan petugas," ujar Sudirman di Posko Pantauan Arus Mudik Lebaran di Gedung Kementerian Perhubungan, Jumat.
Terakhir, ia kembali memperingatkan para pemudik untuk berhati-hati di jalan dan menggunakan fasilitas posko di jalur utama untuk beristirahat jika lelah dalam perjalanan.
"Pemudik jangan memaksakan diri. Jika lelah, ya beristirahat terlebih dahulu. Tidak perlu terburu-buru. Justru itu yang menyebabkan kecelakaan, yaitu karena lelah dan tidak konsentrasi," ungkap Sudirman.










































DAFTAR PUSTAKA


http://nasional.kompas.com/read/2011/09/02/16105583/2.998.Kecelakaan.Terjadi.Selama.Mudik.Lebaran

http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=35559:memaknai-mudik-dalam-tinjauan-sosio-kultural&catid=55:opini&Itemid=103


http://wismabahasa.wordpress.com/2007/10/16/fenomena-mudik-lebaran/
Fenomena Mudik Lebaran


http://www.analisadaily.com/news/read/2011/08/22/9709/mudik_lebaran_dan_kesiapan_layanan_transportasi/



http://id.wikipedia.org/wiki/Lebaran



http://id.wikipedia.org/wiki/Mudik

No comments:

Post a Comment

Please Coment...
Tidak ada unsur pornografi dan unsur Sara...

Grand Piano 2